Makalah Ulumul Quran: Masuknya Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an


Masuknya Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an oleh: muhammad fachri* Abstrak Tulisan ini mengangkat tentang israiliyat yang masuk dalam penafsiran  al-Qur'an, Israliyyat adalah bentuk jamak dari Israiliyyah yakni bentuk kata  yang dinisbahkan kepada kata Israil (bahasa Ibrani), Israiliyyat dalam tafsir  al-Qur'an tidak lepas dari kondisi sosio cultural masyarakat Arab pada zaman  Jahiliyyah, pengetahuan mereka tentang ini telah masuk ke dalam benak  keseharian mereka sehingga tidak dapat dihindari adanya interaksi kebudayaan  Yahudi dan Nashrani dengan kebudayaan Arab yang kemudian menjadi jazirah  Islam, keberadaan Israiliyyat dalam tafsir banyak memberi pengaruh buruk  terhadap sikap teliti yang telah diperaktikan oleh para sahabat dalam  mentransper Israiliyyat dan tidak menjadi perhatian generasi sesudahnya,  sehingga banyak cerita Israiliyyat yang mengandung khurafat dan bertentangna  dengan nash mewarnai kitab tafsir.  Kata kunci : Israiliyyat, Tafsir, Penafsiran  PENDAHULUAN  Teks al-Qur'an adalah wahyu Allah yang tidak akan berubah oleh  campur tangan manusia, tapi pemahaman terhadap al-Qur'an tidak tetap,  selalu berubah sesuai dengan kemampuan orang yang memahami isi  kandungan al-Qur'an itu dalam rangka mengaktualkannya dalam bentuk  konsep yang bisa dilaksanakan. Dan ini akan terus berkembang sejalan  tuntutan dan permasalahan hidup yang dihadapi manusia, maka di sinilah  celah-celah orang yang ingin menghancurkan Islam berperan.  Sebagai petunjuk, tentunya al-Qur'an harus dipahami, dihayati dan  diamalkan oleh manusia yang beriman kepada petunjuk itu, namun dalam  kenyataannya tidak semua orang bisa dengan mudah memahami al-Qur'an,  bahkan sahabat-sahabat Nabi sekalipun yang secara umum menyaksikan  turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah  *Penulis adalah Dosen pada fakultas Syari'ah IAIN Antasari Banjarmasin dan  sedang menempuh S.2 di Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin angkatan  2006, konsentrasi Filsafat Hukum Islam.  struktur bahasa dan kosa katanya. Tidak jarang mereka berbeda pendapat  atau bahkan keliru memahami maksud firman Allah yang mereka dengan  atau yang mereka baca.1 Karena itu Rasulullah berfungsi sebagai  penjelas (mubayyin) maksud firman Allah. Pada masa Rasulullah saw hidup, umat Islam tidak banyak  menemukan kesulitan dalam memahami petunjuk dalam mengarungi  hidupnya, sebab manakala menemukan kesulitan dalam satu ayat,  mereka akan langsung bertanya kepada Rasulullah saw dan kemudian  Beliau menjelaskan maksud kandungan ayat tersebut. Akan tetapi  sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam banyak menemukan kesulitan  karena meskipun mereka mengerti bahasa Arab, al-Qur'an terkadang  mengandun isyarat-isyarat yang belum bisa dijangkau oleh pikiran orangorang  Arab. Oleh karena itu mereka membutuhkan tafsir yang bisa  membimbing dan menghantarkan mereka untuk memahami isyarat-isyarat  seperti itu.  Langkah pertama yang mereka ambil adalah melihat pada hadits  Rasulullah saw, karena mereka berkeyakinan bahwa Beliaulah satu-satunya  orang yang paling banyak mengetahui makna-makna wahyu Allah.  Disamping itu, mereka mengambil langkah dengan cara menafsirkan satu  ayat dengan ayat lainnya, langkah selanjutnya yang mereka tempuh adalah  menanyakannya kepada sahabat yang terlibat langsung serta memahami  konteks posisi ayat tersebut. Manakala mereka tidak menemukan jawaban  dalam keterangan Nabi atau sahabat, mereka terpaksa melakukan ijtihad  dan lantas berpegang kepada pendapatnya sendiri, khususnya  mereka yang mempunyai kapasitas intelektual yang mumpuni seperti  Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Ibnu Mas'ud ra.2  Selain bertanya kepada para sahabat seneor sumber informasi bagi  penafsiran al-Qur'an, mereka bertanya juga kepada ahli kitab, yaitu kaum  Yahudi dan Nashrani. Hal itu mereka lakukan lantaran sebagian  masalah dalam al-Qur'an memiliki persamaan dengan yang ada dalam  kitab suci merkaa, terutama berbagai tema yang menyangkut umat-umat  terdahulu. Penafsiran seperti ini terus berkembang sejalan dengan  perkembangan pemikiran manusia dan kebutuhannya akan urgensi al-Qur'an  1Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir,al-Mufassirin, (Mesir: Dar al-Kutub  wal al-Hadits, 1976), jilid I, h. 59.  2M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 71  sebagai petunjuk bagi kehidupannya sedemikian sampai-sampai tanpa  disadari bercampurlah tafsir dengan Israiliyat. Kehadiran israiliyyat  dalam penafsiran al-Qur'an itulah yang, menjadi ajang polemic dikalangan  para ahli tafsir al-Qur'an. Karenanya, makalah ini akan membahas tema  israiliyat dari sudut apa pengertian israiliyyat, bagaimana proses masuk  dan berkembangnya israiliyyat dalam tafsir dan bagaimana pengaruh  israiliyyat dalam penafsiran al-Qur'an.  PEMBAHASAN  1. Pengertian Israiliyyat  Ditinjau dari segi bahasa kata israiliyyat adalah bentuk jamak  dan kata israiliyah, yakm bentuk kata yang dinisbahkan pada kata Israil  yang berasal dari bahasa Ibrani, Isra bararti hamba dan Il berarti Tuhan, jadi  Israil adalah hamba Tuhan. Dalam deskreptif histories, Israil barkaitan erat  dengan Nabi Ya'kub bin Ishaq bin Ibrahim as, dimana keturunan beliau  yang berjumlah dua betas disebut Bani Israil. Di dalam al-Qur'an banyak  disebutkan tentang Bani Israil yang dinisbahkan kepada Yahudi.3 Misalnya  firman Allah dalam surah al-Maidah:78, al-Isra:4, an-Naml: 76.  Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan  Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan  mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (al-Maidah: 78)  Dan telah kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu,  sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi  3Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Israilyyat fit-Tafsiri wa al-Hadits,  terjemahan Didin Hafiduddin (Jakarta, PT. Litera Antara Nusantara, 1993), h. 8.  ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan  kesombongan yang besar. (al-Isra : 4)  Sesungguhnya al-Qur'an ini menjelaskan kepada Bani Israel  sebagian besar dari (perkara-perkara) yang mereka berselisih  tentangya (an-Naml: 78)  Secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan  israiliyyat. Menurut adz-Dzahabi israiliyyat mengandung dua pengertian  yaitu, pertama: kisah dan dongeng yang disusupkan dalam, tafsir dan  hadits yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi,  Nashrani dan yang lainnya. Kedua: cerita-cerita yang sengaja  diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits yang  sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.4  Definisi lain dari asy-Syarbasi adalah kisah-kisah dan beritaberita  yang berhasil diselundupkan oleh orang-orang Yahudi ke dalam  Islam. Kisah-kisah dan kebohongan mereka kemudian diserap oleh umat  Islam, selain dari Yahudi merekapun menyerapnya dari yang lain.5  Sedangkan Sayyid Ahmad Khalil mendefenisikan israiliyyat dengan  riwayat-riwayat yang berasal dari ahli kitab, balk yang berhubungan dengan  agama mereka maupun yang tidak ada hubungannya sama sekali dengannya.  Penisbahan riwayat israiliyyat kepada orang-orang Yahudi karena para  perawinya berasal dari kalangan mereka yang sudah masuk Islam.6  Dari tiga definisi tersebut di atas tampaknya ulama-ulama sepakat  bahwa yang menjadi israiliyyat adalah Yahudi dan Nashrani dengan  penekanan Yahudilah yang menjadi sumber utamanya sebagaimana  tercermin dari perkataan israiliyyat itu sendiri. Abu Syu'bah mengatakan  pengaruh Nashrani dalam tafsir sangat kecil. Lagi pula pengaruhnya tidak  begitu membahayakan akidah umat Islam karena umumnya hanya  4Muhammad Husin adz-Dzahabi, op. cit, h. 9-10.  5Rosihan Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir ath-Thabari dan  Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 24-25.  6Sayyid Kamal Khalil, Dirasah fil al-Qur'an, (Mesir: Dar al-Ma'rofah, 1961),  h.113.  menyangkut urusan akhlak, nasihat dan pembersihan jiwa.  Formulasi tentang israillyat tersebut terus berkembang di kalangan  para pakar tafsir al-Qur'an dan hadits sesuai dengan perkembangan  pemikiran manusia. Bahkan di kalangan mereka ada yang berpendapat  bahwa israiliyyat mencakup informasi-informasi yang tidak ada dasarnya  sama sekali dalam manuskrip kuno dan hanya sekedar sebuah manipulasi  yang dilancarkan oleh musuh Islam yang diselundupkan pada tafsir dan  hadits untuk merusak aqidah umat Islam dari dalam.  Meskipun israiliyyat banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi, kaum  Nashrani juga turut ambil bagian dalam konstalasi versi israiliyyat ini.  Hanya saja dalam hal ini, kaum Yahudi lebih popular dan dominan.  Karenanya kata Yahudi lebih dimenangkan lantaran selain Yahudi lebih  lama berinteraksi dengan umat Islam, di kalangan mereka juga banyak yang  masuk Islam.  2. Proses Masuk dan Berkembangnya Israiliyyat dalam Tafsir al-Qur'an  Infiltrasi kisah israiliyyat dalam tafsir al-Qur'an tidak lepas dari  kondisl sosio cultural masyarakat Arab ada zaman jahiliyah.  Pengetahuan mereka tentang israiliyyat telah lama masuk ke dalam  benak keseharian mereka sehingga tidak dapat dihindari adanya interaksi  kebudayaan Yahudi dan Nashrani dengan kebudayaan Arab yang  kemudian menjadi jazirah Islam itu.  Sejak tahun 70 M terjadi imigrasi besar-besaran orang Yahudi  ke Jazirah Arab karena adanya ancaman dan siksaan dari penguasa Romawi  yang bernama Titus. Mereka pindah bersama dengan kebudayaan yang  mereka dari ambil dari Nabi dan Ulama mereka, Berta mereka wariskan dari  generasi ke generasi. Mereka mempunyai tempat yang bernama Midras  sebagai pusat pengajian kebudayaan warisan yang telah mereka terima  dan menemukan tempat tertentu sebagai tempat beribadah dan  menyiarkan agama mereka.7  Selain itu juga bangsa Arab sering berpindah-pindah, baik  kearah timur maupun barat. Mereka memiliki dua tujuan dalam  berpergian. Bila musim panas pergi ke Syam dan dingin pergi ke  Yaman. Pada waktu itu di Yaman dan Syam banyak sekali ahli kitab  yang sebagian besar adalah bangsa Yahudi. Karena itu tidaklah  mengherankan bila antara orang Arab dengan Yahudi terjalin hubungan. 7Adz-Dzahabi, op. cit., h. 25.  Kontak ini memungkinkan merembesnya kebudayaan  Yahudi kepada bangsa Arab.  Di saat yang demikian Islam hadir dengan kitabnya yang bernilai  tinggi dan mempunyai ajaran yang bernilai tinggi pula. Dakwah Islam  disebarkan dan Madinah sebagai tempat tujuan Nabi hijrah tinggal  beberapa bangsa Yahudi yaitu Qurayqa, Bani Quraidah, Bani Nadzir,  Yahudi Haibar, Tayma dan Fadak.8 Karena orang Yahudi bertetangga  dengan kaum muslimin, lama kelamaan terjadi pertemuan yang intensif  antara keduanya, yang akhinya terjadi pertukaran ilmu pengetahuan.  Rasulullah menemui orang Yahudi dan ahli kitab lainnya untuk  mendakwahkan Islam. Orang Yahudi sendiri sering datang kepada  Rasulullah saw untuk menyelesaikan suatu problem yang ada pada mereka,  atau sekedar untuk mengajukan suatu pertanyaan.  Pada era Rasulullah saw, informasi dari kaumYahudi dikenal  sebagai israiliyyah tidak berkembang dalan penafsiran al-Qur'an,  sebab hanya beliau satu-satunya penjelas (mubayyin) berbagai masalah  atau pengertian yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur'an umpamanya  saja, apabila para sahabat mengalami kesulitan mengenai pengertian  yang berkaitan dengan sebuah ayat al-Qur'an, baik makna atau  kandungannya, merekapun langsung bertanya kepada Rasulullah saw.9  Kendatipun demikian,, Rasulullah juga telah memberikan  semacam green light pada umat Islam untuk menerima informasi yang  menyebarkan informasi dari Bani Israil, hal ini tampak dalam hadits beliau:  "Sampaikanlah yang datang dariku walaupun satu ayat, dan  ceritakan (apa yang kamu dengar) dari Bani Israil dan hal itu  tidak ada salahnya. Barang siapa yang berdusta ayatku, maka  siap-siaplah untuk menempati tempatnya di neraka".  8Ibid.  9Zainal Hasan Rifai, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an dalam  Belajar Ulumul Qur'an, (Jakarta: Lentera Basitama, 1992), h. 278.  10Imam Bukhari, Matn Bukhari, (Beirut, Dar al-Fikr, t.th), jilid, II, h. 181.  Demikian pula dalam hadits lain beliau bersabda:  "Janganlah kamu benarkan orang-orang ahli Kitab dan jangan  pula kamu dustakan mereka. Berkatalah kamu sekalian, kami  beriman kepada dan kepada apapun yang diturunkan kepada kami.  Dari hadits-hadits di atas Rasulullah sebenarnya memberikan  peluang atau kebebasan pada umatnya untuk mengambil atau menerima  riwayat-riwayat dan ahli Kitab. Dua hadits di atas juga memberikan  semacam warning akan perlunya sikap selektif dan hati-hati terhadap  riwayat ahli kitab.  Dan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa  israiliyyat sebenarnya sudah lama muncul dan berkembang di  kalangan bangsa Arab jauh sebelum Rasulullah saw, yang kemudian  terus bertahan pada era Rasulullah saw. Hanya saja ia belum menjadi  khasanah yang merembes dalam penafsiran al-Qur'an.  Setelah Rasul wafat, tidak seorangpun yang berhak menjadi penjelas  wahyu Allah. Dalam kondisi ini para sahabat mencari sumber dari hadits  Rasul. Apabila mereka tidak menjumpai, mereka berijtihad. Riwayat dan  ahli Kitab menjadi salah satu rujukan. Hal ini terjadi karena ada persamaan  antara al-Qur'an, Taurat dan Injil. Hanya saja al-Qur'an berbicara secara  padat, sementara Taurat dan Injil berbicara panjang lebar.  Pada era shahabat inilah israiliyvat mulai berkembang dan  tumbuh subur. Hanya saja dalam menerima riwayat dan kaum Yahudi dan  Nashrani pada umumnya mereka amat ketat. Mereka hanya membatasi  kisah-kisah dalam al-Qur'an secara global dan Nabi sendiri tidak  menerangkan kepada mereka kisah-kisah tersebut. Disampng itu mereka  terkenal sebagai orang-orang yang konsekuen dan konsesten pada ajaran  yang diteima dari Rasulullah saw, sehingga jika mereka menjumpai kisahkisah  israiliyyat yang bertentangan dengan syari'at Islam,  mereka menentangnya.  Dan apabila kisah-kisah itu diperselisihan mereka  menangguhkannya. adz-Dzahabi mengatakan keterlibatan para sahabat  dalam meriwayatkan israiliyyat tidak berlebih-lebihan dan dalam batas  kewajaran.12  11Ibid.,jilid. III, h. 270.  Pada era tabi'in, penukilan dari ahli Kitab semakin meluas dan  cerita-cerita israiliyyat dalam tafsir semakin berkembang. Sumber cerita ini  adalah orang-orang yang masuk Islam dari kalangan ahli Kitab yang  jumlahnya cukup banyak dan ditunjang oleh keinginan yang kuat dari  orang-orang untuk mendengar kisah-kisah yang ajaib dalam kitab mereka.  Oleh karenanya pada masa tersebut muncul sekelompok mufassir yang ingin  mengisi kekosongan pada tafsir, yang menurut mereka dengan memasukan  kisah-kisah yang bersumber pada orang-orang yang Yahudi dan Nasrani.  sehingga karenanya tafsir-tafsir tersebut menjadi simpang siur dan bahkan  kadang-kadang mendekati takhayul dan khurafat. Diantaranya adalah  Muqatil bin Sulaiman. Pada era ini pula banyak hadits-hadits palsu,  kedustaan dan kebohongan yang disandarkan kepada Rasulullah saw  tersebar.13  Sikap selektef dalam periwayatan menjadi hilang. Banyak  periwayatan yang tidak melalui jalur "kode etik metodologi penelitian"  ilmu hadits dengan tidak menuliskan sanadnya secara lengkap.  Setelah era tabi'in tumbuh kecintaan yang luar biasa terhadap cerita  israiliyyat dan diambil secara ceroboh, sehinga setiap cerita tersebut tidak  lagi ada vang ditolak.  Mereka tidak lagi mengambil cerita tersebut kepada al-Qur'an,  walaupun tidak dimengerti oleh akal. Mereka menganggap tidak perlu  membuang cerita-cerita dan kisah-kisah yang tidak dibenarkan untuk  menafsirkan al-Qur'an.  Ada beberapa faktor yang menyebabkan masuknya israiliyyat  dalam tafsir yaitu:14 Pertama, perbedaan metodologi antara al-Qur'an.  Taurat dan Injil dalam global dan ringksan titik tekannya adalah  memberikan petunjuk jalan yang benar bagi manusia, sedangkan Taurat dan  Injil mengemukakan secara terinci, perihal, waktu dan tempatnya. Ketika  menginginkan pengetahuan secara lebih teperinci tentang kisah-kisah umat  Islam bertanya kepada kelompok Yahudi dan Nasrani yang dianggap lebih  12Muhammad Husin adz-Dzahabi, Penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur'an, tabu. (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 24.  13Ibid.  14Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi'i, Ulumul Qur'an, (Bandung: Pustaka Setia,  1997), h. 242-243.  Kedua, ada pula pendapat yang mengatakan rendahnya kebudayaan  masyarakat Arab karena kehidupan mereka yang kurang banyak yang  pandai dalam hal tulis menulis (ummi). Meskipun pada umumnya ahli Kitab  juga selalu berpindah-pindah., tetapi pengetahuan mereka tentang sqarah  masa lampau lebih luas. Ketiga, ada justifikasi dari dalil-dalil naqlilah yang  difahami masyarakat Arab sebagai pembenaran bagi mereka untuk bertanya  pada ahli Kitab. Keempat, adalah heterogenitas penduduk. Menjelang masa  kenabian Muhammad saw jazirah Arab dihuni juga oleh kelompok Yahudi  dan Nasrani. Kelima, adanya rute perjalanan niaga. masyarakat Arab, rute  selatan adalah Yaman yang dihuni oleh kalangan Nasrani, sedangkan rute  ke utara adalah Syam yang dihuni oleh kalangan Yahudi.  Menurut Rosehan Anwar sumber israiliyyat dimotori oleh tokohtokoh  primer yaitu Abdullah bin Salam, nama lengkapanya adalah Abu  Yusuf bin Salam bin al-Haris al-Ansari. Ia menyatakan keislamannya  sesaat setelah Rasulullah tiba di Madinah dalam peristiwa hijrah, dalam  perjuangan menegakan Islam, Ia termasuk pejuang dalam perang Badar dan  ikut menyaksikan penyerahan Bait al-Maqdis ke tangan umat Islam.  Riwayat-riwayatnya banyak diterima oleh kedua putranya, Yusuf dan  Muhammad, Auf bin Malik, Abu Hurairah. Imam Bukhari pun memasukan  beberapa riwayat darinya.15  Lebih lanjut Rosihan menambahkan selain tokoh tersebut tercatat  nama Ka'ab al-Ahbar. Nama aslinya adalah Abu Ishaq Ka'ab bin Mani  al-Humairi yang terkenal dengan Ka'ab al-Ahbar karena pengetahuannya  yang dalam, ia berasal dari Yahudi Yaman dan memeluk Islam pada  masa Umar bin Khattab. Dalam perjuangan menegakan Islam ia turut  berjuang menuju Syam bersama kaum muslimin lainnya. Banyak cerita  israiliyyat yang dinisbahkan kepadanya. Riwayat-riwayatnya diterima oleh  Muawiyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Malik bin Abi Amir al-Asbani, Atha  bin Abi Rabbah dan lain-lain. Kestsiqatannya menjadi perdebatan para  ulama, Ahmad bin Amir misalnya meragukan ketsiqatannva bahkan  keagamaannya.  Nama lain adalah Wahab bin Munabbih, nama langkapnya  adalah Abu Abdillah bin Munabbih bin Sij al-Yamani. Ia masuk Islam  pada masa Rasululah saw. Dzahabi mengatakan ia adalah orang jujur,  terpercaya dan banyak menukilkan israiliyyat. Menurut Ibnu Hajar ia adalah tabi'in miskin yang mendapat kepercayaan dari Jumhur ulama. Abu  Zahrah dan Nasa'i mengatakan la adalah orang terpercaya.  15Rosihan Anwar, op. cit., h. 37.  3. Pengaruh Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an  Menurut Zainul Hasan Rifa'i,16 masuknya israiliyyat dalam  penafsiran al-Qur'an terutama yang bertentangan dengan prinsif asasinya  banyak menimbulkan pengaruh negatif pada Islam. Diantaranya adalah  merusak akidah umat Islam, seperti yang dikemukakan oleh Mudatil  ataupun Muhammad dengan Zainab binti Jahsyi yang keduanya  mendiskriditkan pribadi Nabi yang ma'shum Berta menggambarkan Nabi  sebagai pemburu nafsu seksual.  Hal ini membawa kesan bahwa Islam adalah agama khurafat,  takhayul dan menyesatkan. Hal ini tampak pada riwayat al-Qurthubi  ketika menafsirkan firman Allah swt surat al-Mukmin : 7 yaitu  "para malaikat memikul arsy 'dan yang disekitarnya  bertasbih memuji Tuhan..."  Ayat ini ditafsirkan dengan mengatakan "Kaki malaikat pemikul  `arsy berada di bumi paling bawah, sedangkan kepalanya menjulang ke  'arsy.17  Ditambahkannya masuknya israiliyyaat ini memalingkan perhatian  umat Islam dalam mengkaji soal-soal kilmuan Islam. Dengan larutnya umat  Islam ke dalam keasyikan menikmati kisah-kisah israiliyyaat, mereka tidak  lagi antusias memikirkan hal-hal makro, seperti sibuk dengan nama dan  anjing Ashabul Kahfi, jenis kayu dari tongkat Nabi musa as, nama binatang  yang ikut serta dalam perahu Nabi Nuh as dan sebagainya dimana perincian  itu tidak dinamakan dalam al-Qur'an karena memang tidak bermanfaat.  Sekiranya bermanfaat al-Qur'an tentu menjelaskan.  Selanjutnya adz-Dzahabi mengatakan18 israiliyyat akan merusak akidah kaum muslimin karena mengandung unsur penyerupaan dan  pengkongkritan (tasybih dan tajsim) kepada Allah dan mensifati Allah  dengan sifat yang tidak sesuai keagungan dan kesempumaan-Nya. cerita  itupun mengandung unsur ismah (terpeliharanya) Nabi dan para Rasul dari  dosa, menggambarkan mereka dalam bentuk yang menonjol syahwatnya,  mendorong mereka pada perbuatan-perbuatan buruk yang tidak pantas dan  layak bagi orang yang adil, apalagi orang yang menjadi Nabi.  16Zainul Hasan Rifa'i, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an, dalam  Jurnal Hikmah, No. 13, Edisi Zulqaidah, 1414- Muharrah 1415, h. 12.  17Ibid.  18Muhammad Husin adz-Zahabi, op. cit., h. 27-28, 32-33.  Lebih lanjut beliau menjelaskan israiliyyat memberikan gambaran seolah-olah Islam  agama khurafat dan kebohongan yang tidak ada sumbernya. Disamping itu  dengan israiliyyat hampir saja hilang kepercayaan pada sebagian ulama salaf,  baik dari kalangan sahabat maupun tabi'in. Tidak sedikit cerita israiliyyat  yang munkar ini disandarkan kepada sahabat atau tabi'in, seperti Abdullah  bin Salam, Ka'ab al-Ahbar dan Wahab bin Munabbih.  Terhadap israiliyyat ulama salaf yang tokohnya antara lain Ibnu  Taimiyah melihat tiga bagian, ada yang sejalan dengan Islam  perlu dibenarkan dan diriwayatkan, sedangan yang masuk bagian yang  tidak sejalan harus ditolak dan tidak boleh diriwayatkan. Sedangkan yang  tidak masuk bagian pertama dan kedua tidak perlu dibenarkan dan  didustakan, tetapi boleh diriwayatkan. Pendapat serupa dikemukakan  oeh lbu Hajar al-Asqalani.19  Di kalangan ulama Khalaf seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,  Musthafa al-Maraghi, Mahmud Syaltut, Abu Zahrah dan al-Biqa'i. Diantara  para ulama ini Muhammad Abduh paling gencar mengkritik kebiasaan  ulama Tafsir yang banyak menggunakan israiliyyat dalam menafsirkan  al-Qur'an. Menurut Muhammad Abduh menggunakan israiliyyat adalah cara  yang mendistori pemahaman terhadap Islam. Sikap keras serupa  diperlihatkan oleh Rasyid Ridha (murid Abduh). Ia mengatakan riwayat  israiliyyat yang secara eksterim diriwayatkan oleh para ulama telah keluar  dari konteks al-Qur'an. Lebih jelas al-Maraghi mengatakan kitab-kitab tafsir  keluar dari konteks israiliyyat yang tidak jelas kualitasnya. Sikap negatif  yang sama juga, diperlihatkan oleh Muhammad Syaltut, israiliyyat  menurutnya hanya menghalangi umat Islam menemukan petunjuk al-Qur'an.  Kesibukan mempelajarinya telah memalingkan mereka dari intan dan  mutiara yang terkandung dalam al-Qur'an. Abu Zahrah mengatakan  israiliyyat harus dibuang karena tidak berguna dalam memahami al-Qur'an. Bahkan al-Biqa'i berargumentasi dengan israiliyyat adalah sesuatu yang  mungkar.20  19Rosihan Anwar, op. cit., h. 42.  Penulis berpandangan berdasarkan hadits Rasul dang kenyataan  dengan melihat israiliyyat sebagai sumber tafsir, karena melihat keberadaan  israiliyyat yang banyak negatif. Beberapa contoh penafsiran berdasarkan  israiliyyat banyak kita jumpai dalam tafsir ath-Thabari. Dalam al-Qur'an  kisah penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim as diabadikan dalam  QS. Al-Shafat 102 yang berbunyi:  Maka tatkala anak itu sampai (Pada umur sanggup) berusaha  bersama-sama dengan Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim berkata: "Hai  anakku, sesunguhnva aku melihat dalam mimpi aku meyembelihmu.  Pikirkanlah apa pendapatmu? Ia menjawab, "Wahai Bapaku,  kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu  akan mendapatkanku termasuk orang-orang yang sabar ".  Kunci persoalan yang sering menjadi perdebatan para ulama  berkaitan dengan tema ini adalah uraian tentang siapa sebenarnya yang  di `al-adzabih' pada ayat di atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa  yang dimaksud itu adalah Nabi Ismail as. putra Nabi Ibrahim as. dari Siti  Hajar. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud adalah  Nabi Ishaq as, putranya dari Siti Sarah. Pendapat terakhir, menurut Ibnu  Katsir dan mufassir lainnya berasal dari israliyyat.21 Karena sumber tafsiran  ini berasal dari keinginan mengangkat nenek moyang bangsa Yahudi  yaitu Ishaq as. Bahkan menurut Ibnu Katsir lagi pendapat mereka itu  bertentangan dengan sumber-sumber ahli kitab mereka.  20Ibid., h. 43.  21Muhammad Nazib ar-Rifa'i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta, Gema  Insani, 2000), jilid. IV, h. 40.  Berkaitan dengan pesoalan di atas, dalam tafsirnya  mengungkapkan dua kelompok riwayat yang masing-masing mewakili dua  pendapat di atas. Riwayat yang menjelaskan bahwa yang dimaksud  dengan at-dzahabi adalah Nabi Ishaq as. diterimanya dari Abi Kuraib,  Zaid bin Habilm, al-Hasan bin Dinar, dari Ali bin Zaid bin Zad'an, dari  al-Ahnaf bin Qaid dan al-Abbas bin Abdul Muthalib dan dari Nabi.  Sanad israiliyyat yang disandarkan kepada Nabi di atas ditolak  oleh para ulama. Menurut Ibnu Katsir sebagaimana ditulis oleh Syu'bah,  riwayat itu dha'if, gugur dan tidak dapat dijadikan hujjah sebab salah satu  rawinya yaitu Hasan bin Dinar, harus ditinggalkan periwayatannya dan  gurunya pun, Zaid bin Zad'an, periwayatannya tidak dapat diterima.  Namun kelemahan-kelamahan ini tidak dikemukakan oleh  ath-Thabari,22 bahkan ia menjadikannya pemihakan terhadap israiliyyat  yang mengatakan yang disembelih adalah Nabi Ishaq as, meskipun tidak  mengomentari sanadnya, ia mengomentari matnnya. Dalam hal ini ia  memilih riwayat yang mengatakan yang dimaksud dengan al-dzahib adalah  Nabi Ishaq as. Ia juga mengatakan al-Qur'an mendukung riwayat itu. Untuk  mendukung pendapatnya, ia mengajukan berbagai argumentasi, umpamanya  ia berargumentasi bahwa permintaan Nabi Ibrahim as agar dikaruniai putra  ketika berpisah dan kaumnya dan hendak hijrah ke Syam bersama isterinya  Sarah, terjadi ketika ia belum mengenal Hajar isterinya yang kedua. Setelah  peristiwa hijrah itu Tuhan mengabulkan do'anya. Anak itulah yang  menurutnya kemudian dilihatnya disembelih dalam ketiga mimpinya.  Dalam al-Qur'an, Nabi Ishaqlah yang disebut-sebut sebagai kabar gembira  bagi Nabi Ibrahim as, dalam surah as-Shaffat : 101  "Maka kami memberi kabar gembira kepadanya seorang anak  yang sabar "  .  Diantara israiliyyat yang mewarnai tafsir ada juga yang sejalan  dengan al-Qur'an, tetapi jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan  israiliyyat yang bertentangan dengan al-Qur'an. Diantara yang sejalan  dengan al-Qur'an adalah israiliyyat yang bertalian dengan ayat al-A'raf 157  22Rosihan Anwar, op. cit., h. 83.  yang dikutip oleh Ibnu Katsir, yaitu:  "Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi Ummi yang  (namanya) mereka dapati di dalam Taurat dan Injil yang berada  di sisi mereka Nabi yang menyuruh mereka mengerjakan perbuatan  ma'ruf dan melanggar perbuatan munkar serta menghalalkan bagi  mereka segala yang baik ".  Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip israiliyyat yang  yang disampaikan ath-Thabari dari al-Mutsanna dari Utsman bin Umar dari  Fulaih dari Hilal bin Atha bin Yasar, Ia berkata :"Aku bertemu dengan  Abdullah bin 'Amr bin Ash dan bertanya kepadanya, ceritakan olehmu  kepadaku tentang sifat Rasulullah saw yang diterangkan dalam Taurat sama  seperti yang diterangkan dalam al-Qur'an, wahai Nabi sesungguhnya Kami  mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan dan  pemelihara yang ummi, engkau adalah hamba-Ku, namamu dikagumi,  engkau tidak kasar tidak pula keras. Allah tidak akan mencabut namamu  sebelum agama Islam tegak lurus, yaitu setelah diucapkan tiada Tuhan yang  patut disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Allah, dengan perantaraan  engkau pula Allah akan membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang  tuli dan membuka mata yang buta".  Ibnu Katsir mengkaitkan israiliyyat itu dengan pernyataan bahwa  Imam Bukhari telah meriwayatkan dalam kItabnya Shahihnya yang diterima  dari Muhammad bin Sinan. dari Fulai, dari Hilal bin Ali dengan tambahan redaksinya berbunyi, "dan bagi sahabat-sahabatnya di pasar, Nabi tidak  pernah membalas keburukan dengan keburukan, tetapi ia senantiasa  mempunyai sifat pemaaf. Keberadaan israiliyyat itu dalam shahih Bukhari  menunjukan bahwa kwalitas sanadnya shahih.  Demikian pula israiliyyat ada yang memiliki kualifikasi tidak dapat  diterima dan tidak pula dapat didustakan kebenarannya (maukuf),  contohnya surah an-Nisa 158 tentang kenaikkan Isa al-Masih :  "Tetapi (yang sebenarnya) Allah telah mengangkat Isa  kepadaNya dan adalah Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana".  Al-Qur'an memang tidak membahas secara rinci  bagaimana proses penyerupaan dan kenalkan Isa as sehingga persoalan  ini kerap kali menjadi bahan kontraversi di kalangan umat Islam.  Umpamanya masih diperselisihkan apakah yang diserupakan dengannya  itu dan kemudian dibunuh oleh orang-orang Yahudi hanya satu orang atau  semua sahabatnaya yang ketika kejadian itu berlangsung berada di rumah  dengannya. Bila ada uraian tentang hal itu sudah bisa dipastikan  bersumber pada israiliyyat. Dalam hal ini ath-Thabari mengutip israiliyyat  itu. Ia mengemukakan dua macam riwayat yang masing-masing didukung  oleh banyak sanad. Riwayat pertama berasal dan Wahbah bin Munabbih  mengatakan yang diserupakan dengan Nabi Isa as adalah seluruh  sahabatnya. Ketika memasuki rumah tersebut dan hendak membunuhnya,  orang-orang Yahudi kebingungan karena seisi rumah itu wajahnya sama,  akhirnya mereka membunuh salah seorang sahabatnya, sedang Nabi Isa as  diangkat ke langit.  Riwayat kedua yang berasal dari Qatadah mengatakan bahwa yang  diserupakan dengannya adalah salah seorang sahabatnya saja, ketika masuk  orang-orang Yahudi membunuh orang yang diserupakan itu, sedangkan  Nabi Isa as diangkat ke langit.  Ath-Thabari lebih cenderung kepada pendapat Wahab bin Munabbih  dengan pertimbangan rasionya lebih mendekati kebenaran, jika salah satu  saja yang diserupakan, tentu para sahabatnya yakin yang dibunuh adalah  orang yang diserupakan. Padahal sebenarnya mereka merasa kebingungan  siapa sebenarnya yang mereka bunuh tersebut.  Dari israiliyyat-israiliyyat yang mewarnai kitab tafsir, menurut  pendapat saya, sebelum menjadi dasar menafsiran ayat al-Qur'an seorang  mufasir harus bersikap extra hati-hati. Metodenya adalah melakukan studi  kritis sanad, dengan meyebutkan nama-nama rawi yang terlibat dalam  transmisian sebuah riwayat sehingga didapati riwayat yang didasarkan pada  sanad yang sahih. Pencantuman israiliyyat dalam tafsir harus diberi  komentar tidak sekedar "taken for granted" saja sehingga membingungkan  para pembaca tafsir apa pendapat pengarang sebenarnya, apakah  mendukung atau tidak terhadap israiliyyat yang dicantumkan dalam  tafsirnya. Yang kedua harus diperhatikan kesesuaiannya dengan syari'at  Islam, persesualan ini dengan pada al-Qur'an dan Hadits Nabi. Yang ketiga  apakah sesuai dengan rasio atau tidak.  KESIMPULAN  Israiliyyat adalah bentuk jamak dari israiliyyah, yakni bentuk kata  yang dinisbahkan kepada kata israil yang berasal dari bahasa lbram, isra  berarti hamba dan it berarti Tuhan, jadi israil artinya adalah hamba Tuhan.  Dalam perspektif histories israil berkaltan erat dengan Nabi Ya'kub bin  Ishaq as, dimana keturunan beliau yang berjumlah dua belas disebut Bani  Israil. Secara istilah israiliyyat adalah kisah dan dongeng yang disusupkan  dalam tafsir dan hadits yang asal riwayatnya disandarkan atau bersumber  pada Yahudi, Nashrani dan lainnya atau cerita-cerita yang secara  sengaja diselunduplan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits,  yang sama sekali tidak dijumpai dalam sumber-sumber yang sahih.  Masuknya israiliyyat dalam tafsir tidak terlepas dari kondisi sosio  cultural masyarakat arab pada zaman jahiliyah. Adanya migrasi besarbesaran  orang Yahudi pada tahun 70 M ke jazirah Arab karena ancaman  dari Romawi yang dipimpin oleh kaisar Titus menimbulkan kontak antara  keduanya, ditambah lagi kondisi orang Arab sendiri yang sering melakukan  perjalanan dagang ke Syam dan Yaman., di Madinah sendiri banyak orang  Yahudi yang bermukim di sana.  Keberadaan israiliyyat dalam tafsir banyak memberikan  pengaruh buruk, sikap teliti yang diperlihatkan oleh para sahabat dalam  mentransfer. israiliyyat tidak menjadi perhatian genarasi sesudahnya,  sehingga banyak israiliyyat yang mengandung khurafat dan  bertentangan dengan nash mewarnal kitab tafsif.  Farihatni Mulyani : Masuknya Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an  AL-BANJARI Vol. 5, No. 9, Januari – Juni 2007 17  DAFTAR PUSTAKA  Anwar, Rosihan, Melacak Unsur-unsur Israilliyyat dalam Tafsir  ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, Bandung, Pustaka Setia, 1999.  al-Bukhari, Matn Bukhari, Beirut, Dar al-Fikri, tth, jilid II dan IV.  adz-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassir, Mesir. Dar al-  Kutub wa al-Hadits, 1976, jilid I.  _________________, Penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur'an, Jakarta,  Rajawali, 1986.  _________________, al-Israiliyyat fi Tafsir wa al-Hadits, terjemahan Didin  Hafiduddin, Jakarta, PT Litera Antara Nusantara, 1993.  Khalil, Sayyid Kamal, Dirasah fi al-Qur'an, Mesir, Dar al-Ma'rifah, 1961.  Rifai, Zainal Hasan, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an  dalam Belajar Ulumul Qur'an, Jakarta, Lentera Basitama, 1992.  ar-Rifai, Muhammad Nazib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta, Gema  Insani, 2000.  Syadali, Ahmad, dan Ahmad Rofi'i, Ulumul Qur'an I, Bandung, Pustaka  Setia, 1997.

0 comments:

 

Followers

My Ping in TotalPing.com blog directory blog search directory TopOfBlogs Yahoo bot last visit powered by  Ybotvisit.com

Blog Archive

Blinkie Graphics Generator at TextSpace.net

materi pembelajaran Copyright © 2009 WoodMag is Designed by education for Free Blogger Template